Fujikang (JagatNU.com) – Sore ini, Kamis, 21 Maret 2024 pukul 17.45, kami melewati rute yang kemarin kami lewati menuju Fujikang. Lewat depan Taman Kayu juga. Bedanya, tujuan kali ini tidak sejauh Fujikang. Kami sedang menuju Yehliu. Diperkirakan perjalanan dari Masjid Al-Hidayah, Keelung, memakan waktu sekitar 20-30 menit untuk sampai kesana. Saya terjadwal mengimami salat Tarawih dan mengisi kajian di Musala Nurul Hidayah, Pelabuhan Yehliu.
Tampaknya kami berangkat terlalu akhir sehingga ketika masuk waktu Magrib posisi kami masih di perjalanan. Namun tak lama setelah itu, saya, Pak Kasno, Ibu Anggun, dan disusul Ibu Sina, tiba di lokasi. Sepi. Tidak terlihat ada yang menyambut seperti di tempat-tempat lain sebelumnya. Kami langsung menuju pintu utama sebuah toko bertuliskan “Toko Indo Halal” yang berada di lantai dasar sebuah gedung berlantai lima. Dilihat tidak ada orang di dalam, kami langsung turun ke lantai bawah tanah melalui sebuah tangga di sampingnya. Ternyata, betul, orang-orang sudah memulai salat Magrib berjamaah di musala Nurul Hidayah. Kami langsung saja bermakmum, salat Maghrib dengan wudhu Asar.
Sehabis salat, kami berbuka puasa bersama. Kami berkenalan dengan Pak Jauhari, Pak Roi’ dan Pak Darno. Dua nama yang disebut terakhir adalah imam Musala. Saya juga diperkenalkan dengan Ibu Siti Aisyah sebagai pemilik toko dan Musala. Saya tidak bertemu dengan suami Ibu Siti Aisyah yang kabarnya adalah seorang muslim asal Pakistan. Namun sempat menyapa anak laki-lakinya yang sedang pulang liburan dari sebuah pondok pesantren di Kuala Lumpur, Malaysia.
Dari perbincangan bersama mereka, saya mendapatkan informasi bahwa Musala Nurul Hidayah berumur sekitar 10 tahun. Ibu Siti Aisyah yang dengan sukarela menyediakan tempat untuk dijadikan Musala dan pusat kegiatan keagamaan khususnya oleh para Pekerja Migran Indonesia. Pastinya mereka juga ikut serta merawat fasilitas dan kebersihannya. Ibu Aisyah sendiri berasal dari Ponorogo yang sudah sekitar 24 tahun tinggal di Taiwan, namun baru menempati tempat yang sekarang sejak 10 tahun terakhir.
Jumlah PMI yang nyaris kesemuanya adalah ABK di Pelabuhan Yehliu mencapai 200-an orang. Dan pada momen hari raya seperti Idul Fitri jamaah Musala yang ikut melaksanakan salat Ied bisa lebih dari 100 orang.
“Jamaah musala yang mengikuti salat Idul Fitri sekurang-kurangnya 100 orang. Apabila Imam Musala yang bertugas selama ini sedang berlayar, maka Musala ini nantinya tidak ada Imamnya. Karenanya, kami memohon bantuan agar disampaikan kepada PCINU supaya mengutus sebagian dai-nya kesini.” Ujar Pak Jauhari.
“Baik, Pak. Nanti insyaAllah saya bantu sambungkan.” Jawab saya.
Kegiatan ibadah harian di Musala ini cukup aktif. Setidaknya untuk salat Magrib dan Isya rutin dihadiri oleh sekitar 20 orang jamaah. Namun demikian, tantangan muncul dari tetangga penghuni lima lantai di atasnya.
“Apabila ada keramaian dan kerumunan PMI yang beraktivitas di musala, kadang didatangi oleh pihak kepolisian. Kemungkinan ada tetangga yang melaporkan. Karenanya, di Musala ini tidak digunakan pengeras suara. PMI juga belum bisa leluasa menampilkan kostum dan atribut yang mencirikan keagamaan dan budaya luar, seperti sarung dan sebagainya.” Cerita mereka.
“Ya, berproses. Yang terpenting saat ini adalah keadaan yang kondusif dan bisa beribadah dengan nyaman dulu.” Tanggap saya.
Dalam pada itu, seorang lelaki datang menghampiri saya dan memperkenalkan dirinya. Ternyata ia adalah Ustadz Ahmadun yang biasa dipanggil Ustadz Madun, Rais Syuriah PCINU Ranting Keelung, yang bekerja di Pelabuhan Yehliu. Sejak tiba di Keelung, saya sudah sering mendengar namanya diceritakan oleh para pengurus, namun karena jadwal kami selalu tidak tepat akhirnya baru kali ini kami bisa bertemu.
Ada cerita menarik di balik pertemuan saya dengan beliau. Beliau mengaku telah mengikuti kajian-kajian saya jauh sebelum ada kabar saya akan ditugaskan ke Taiwan oleh LD PBNU.
“Saya sudah lama ikut mengaji ke Jenengan melalui TikTok, Gus. Saya merasa bermimpi tatkala mendengar bahwa Jenengan datang kemari. Kajian malam pertama Jenengan di Masjid Keelung tidak bisa saya hadiri karena terkendala pekerjaan. Namun saya menonton tayangannya. Dalam hati saya berujar: Ya, benar, orang inilah yang sering saya ikuti pengajiannya di TikTok.” Cerita Ustadz Madun.
“Alhamdulillah, semoga pertemuan ini menjadi silaturahim yang manfaat dan barokah, ya Ustadz.” Kata saya menanggapi.
Saya sendiri tidak pernah menyangka bahwa cuplikan-cuplikan ceramah sederhana yang saya posting di TikTok ataupun di media sosial lainnya akan ditonton oleh orang-orang yang tinggal di tempat yang jauh seperti Taiwan. Cerita malam ini membuktikan bagaimana hal itu bisa terjadi. Saya bersyukur, karena bagaimanapun itu adalah bagian dari nasyrul ‘ilm.
Bagi saya, jika mereka dengan bangganya memamerkan aurat dan kemaksiatan, mengapa kita harus malu-malu menyebarkan kebaikan dan kemanfaatan?! Saya teringat, pada 16 Oktober 2018 saya pernah menulis status Facebook, begini: “Sampaikan kebaikan kapan, dimana dan kepada siapa saja, karena kita tidak tahu di telinga siapa ia akan berguna. Sungguh sehelai daun telinga yang merasakan manfaatnya adalah lebih baik daripada tidak sama sekali.”
Seusai mengimami salat Tarawih, saya langsung dipersilakan menyampaikan pengajian. Namun saya minta agar terlebih dahulu ada yang menyampaikan sambutan dari pihak pengurus Musala. Berdirilah Pak Jauhari yang mengenakan jas abu-abu menyampaikan sambutan singkatnya mewakili jamaah.
Pengajian berjalan lancar. Uraian saya banyak mengenai QS. Al-An’am: 162 yang kaligrafinya menempel di dinding Musala. Para jamaah pun aktif menyimak dan antusias melontarkan pertanyaan-pertanyaan. Diantara yang mereka tanyakan adalah mengenai cara berbakti kepada orang tua yang telah meninggal dunia, status puasa Ramadan yang bertahun-tahun ditinggalkan, pengaruh kebiasaan mengambil nomor/berjudi terhadap keluarga dan anak keturunan, dan lain sebagainya.
Sebagaimana di tempat-tempat yang lain, saya berusaha memberi jawaban yang selain mengarahkan kepada perbaikan, juga menumbuhkan pengharapan.
Oleh: Moh. Al-Faiz Sa’di (Dai Internasional Taiwan)