Daxi (JagatNU.com) – Agenda saya hari ini mengunjungi PCINU Ranting Daxi. Rencana akan tinggal di sana selama beberapa hari, berkeliling mengisi kegiatan di musala-musala di sekitar Pelabuhan Daxi, sekaligus juga ke Yilan pada Ahad, 24 Maret 2024.
Saya dijadwalkan berangkat dari tempat tinggal saya di Masjid Al-Hidayah, Keelung, sehabis Zuhur, sekitar pukul 13.00 waktu setempat. Keberangkatan kali ini lebih awal daripada perjalanan-perjalanan sebelumnya yang biasanya berangkat menjelang Magrib. Hal itu selain karena jarak yang lebih jauh dan antisipasi macet pada hari libur, juga ada kemungkinan masih akan mampir-mampir.
Sejak pagi saya sudah mulai berkemas, sebab biasanya penjemput datang tepat waktu. Saya juga masih menyempatkan diri membeli alat potong kuku di Toko Indo sebelah. Saat kembali masuk kamar, membuka laptop hendak menuliskan catatan harian, tiba-tiba saya mendengar seseorang berbicara dalam bahasa Madura di Masjid lantai bawah. Segera saya turun untuk memastikan. Selama di Taiwan, saya memang jarang sekali bertemu dengan orang Madura. PMI di Taiwan kebanyakan berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat.
“Assalamu’alaikum. Sae, ghi?” (Kabar baik, ya?) Ucap seorang pria berkaos hitam dan bercelana jeans kepada saya yang masih turun tangga.
“Oh, engghi. AlhamduliLlah. Madureh ka’dimmah?” (Oh, ya. Alhamdulillah. Madura mana?) Jawab saya sambil menyalaminya. Sebenarnya dari logatnya saya sudah bisa menebak asal daerahnya.
“Pasti orang Bangkalan!” Batin saya.
Kami lanjut berkenalan. Dugaan saya benar. Namanya Agus, asal Socah, Bangkalan. Ia seorang ABK kapal layar yang sedang sandar di Pelabuhan Keelung. Bersama dua orang temannya yang masih berada di luar menggunakan Wifi umum, ia bermaksud mencari tempat singgah dan beristirahat sampai Magrib. Sebab kapalnya baru akan berangkat kembali pukul 20.00 melanjutkan perjalanan menuju Hongkong.
“Ya’, kanna’. Bhender hedeh. Takmir masjide oreng Madureh reh” (Kemari. Kamu benar. Takmir masjidnya ini orang Madura), ujar dia melalui telepon kepada seorang temannya yang masih berada di luar. Saya lalu menjelaskan bahwa saya bukan pengurus takmir Masjid, melainkan utusan LD PBNU untuk safari dakwah selama bulan Ramadan di Taiwan. Dia memahami.
Sejurus kemudian, datanglah seorang pemuda. Berpakaian rapi. Kami berkenalan. Namanya Zainal, asal Ketengan, Bangkalan. Berbeda dengan Pak Agus yang sudah senior, Mas Zainal masih baru sebagai ABK, masih dua kali berlayar. Tugasnya di bagian dapur. Dia mengaku langsung mengenali saya saat tadi dia melihat saya ke toko. Rupanya dia adalah seorang jemaah di masjid Al-Qonitin, Burneh, Bangkalan. Masjid yang dulu saya sering diminta menjadi imam dan khotibnya. Bahkan, sebenarnya Idul Fitri tahun ini pun saya diminta untuk khotbah di sana andai tidak pergi ke Taiwan.
Kami bertiga mengobrol gayeng. Cerita sana-sini. Pak Agus bercerita, bahwa setelah sampai di Hongkong nanti dia akan langsung pulang kampung menggunakan pesawat. Masa kontraknya sudah habis delapan bulan. Sedangkan Mas Zainal masih akan melanjutkan perjalanan berlayarnya, termasuk melewati Israel.
“Untuk melanjutkan perjalanan berlayar ini sudah atas restu keluarga,” ujarnya.
Sambil mengobrol, saya lihat Pak Agus menelpon seseorang dalam bahasa Madura. Kepada teman bicaranya di balik telepon, ia menceritakan pertemuannya dengan saudara sendiri, sesama orang Madura, di satu-satunya masjid di Keelung, Taiwan. Ia terlihat begitu senang dan bangga.
“Oreng becce’ atemmo padeh becce’en e kennengan se becce’” (Orang baik bertemu dengan sesama orang baik di tempat yang baik), ujarnya di telepon. Ucapan yang sederhana, namun bermakna. Membuat saya yang mendengarnya merenung sejenak. Bukan hanya soal diri ini merasa tidak layak disebut “baik,” melainkan soal kebenaran ungkapan “baik ketemu baik” itu.
Betul juga, sih, bahwa orang baik akan dipertemukan dengan orang yang baik pula, yang satu sirkel. Biasanya begitu, tapi bisa juga tidak begitu. Karena tidak adanya kepastian itulah, maka QS. An-Nur: 26 bahwa “..laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik” itu sebaiknya tidak dimaknai sebagai ayat yang menegaskan keadaan faktual, melainkan lebih sebagai arahan syariat mengenai pertimbangan aspek keselevelan dalam keberpasangan. Dengan demikian, jika ternyata ada fakta yang menunjukkan sebaliknya, maka tidak ada yang salah dengan Alquran. Kurang lebih begitu yang saya ingat dari Tafsir Asy-Sya’rawi.
Sehabis Zuhur, penjemput datang. Kami bersepuluh, enam laki-laki dan empat perempuan, berangkat dengan dua mobil. Lagi-lagi, sepanjang perjalanan, kami menyinggahi beberapa tempat untuk ambil foto, termasuk wisata air terjun di gunung bekas tambang emas yang cukup banyak pengunjungnya. Bebatuan di sepanjang aliran air berwarna kuning keemasan. Air itu mengalir ke laut, dan pertemuan keduanya terlihat terpisah, mengingatkan saya akan tanda kekuasaan Allah yang dinyatakan dalam QS. Ar-Rahman: 19-20. Subhanallah.
Kami tiba di Daxi pada sekitar pukul 15.30. Parkiran yang ditempati mobil yang kami tumpangi ternyata parkiran Wihara. Dari arah situ belum terlihat Musala ataupun kantor sekretariat Ranting. Ternyata musala yang kami cari tersembunyi di sebelah bibir pantai. Kami pun segera menuju ke sana. Sepi. Kami memanggil salam, dan keluarlah dua orang yang sedang hendak melaksanakan salat Asar, Pak Totok dan Pak Ali. Pak Ali langsung menyapa saya dengan bahasa Madura. Ternyata dia kelahiran Madura namun keluarganya sudah berdomisili di Muncar, Banyuwangi. Kami pun salat Asar berjemaah.
Sehabis salat Asar, kami berbincang dan memutuskan untuk berjalan-jalan ke Pelabuhan Daxi. Agak jauh, lumayan membuat kaki pegal. Di tengah jalan kami berpapasan dengan beberapa orang naik sepeda ontel dan sepeda listrik menuju Musala. Mereka adalah para PMI sebagai ABK yang baru naik dari laut. Selain menyaksikan kapal-kapal yang telah dan akan bersandar, di Pelabuhan kami juga melihat pasar ikan dan aktivitas para ABK. Sementara rombongan muslimat menyempatkan belanja ikan untuk oleh-oleh pulang ke Keelung.
Kami berbuka puasa bersama para ABK. Mereka yang memasak sendiri. Lauknya cukup komplit. Saya makan dengan lauk ikan, selain sambal goreng kentang yang dibawakan istri dari rumah. Sehabis berbuka dan salat Magrib, kami menyempatkan diri mengambil foto bersama di depan spanduk, sebab setelah itu rombongan pengantar kami akan segera meninggalkan tempat.
Kecuali Pak Kasno yang tinggal menemani saya di Daxi, mereka semua pulang ke Keelung. Sebagian ada yang masih singgah di Senao untuk mengunjungi para PMI di sana yang sedang mengadakan doa bersama di Musala Baitul Awwabin. Rupanya mereka sedang berduka karena seorang teman ABK asal Cirebon dinyatakan hilang sejak 2 hari sebelumnya setelah kakinya terlilit tali parasit dan terlempar ke laut. Innalillah.
Oleh: Moh. Al-Faiz Sa’di (Dai Internasional LD PBNU)