Memberdayakan Dakwah Digital Kaum Milenial


Oleh: Sukron Ma’mun

Dewasa ini perkembangan dunia digital semakin menguat dengan ditandai menjamurnya berbagai platform media sosial yang mudah diakses semua orang dari berbagai kalangan. Masyarakat secara mudah dapat mengkonsumsi apa pun yang diinginkan melalui gadget yang mereka miliki. Arus informasi pun semakin mudah dibagi, serta semakin cepat diterima oleh masyarakat. Dalam konteks kekinian masyarakat jauh lebih cepat mendapatkan berita, dan juga informasi lainnya.

Hal lain yang tidak dapat dipungkiri adalah mudahnya akses terhadap berbagai pengetahuan, termasuk ajaran agama. Masyarakat tidak hanya disuguhkan oleh deretan kata, kalimat atau pun paragraf ajaran agama, tetapi juga narasi lisan dengan kalimat yang indah, mempesona, dan kadang penuh cadaan. Semua hal tersebut dapat dengan mudah diakses melalui berbagai media sosial, semacam Facebook, Instagram, Twitter, Telegram, Tik Tok, YouTube dan sejenisnya.

Masyarakat kini bisa memilih secara mandiri ajaran agama seperti apa yang diinginkan, ustadz siapa yang menyampaikan atau kyai mana yang ingin didengarkan. Menjadi ‘alim’ atau pandai ilmu agama menjadi pilihan yang bisa ditentukan melalui genggaman masing-masing orang. Tidak mengherankan jika kita bertemu dengan teman, yang belum ada record pendidikan agama, tiba-tiba kini fasih bicara agama, bahkan melebihi dari kita yang belajar agama melalui pendidikan formal di madrasah atau pun pesantren. Tidak jarang mereka justru ‘mengajari’ atau menggurui kita, bahkan mempersoalkan pengetahuan agama dan cara beribada kita. Mereka merasa paling benar, setelah ‘berselancar’ ilmu agama dalam genggaman mereka selama ini.

Media visual semacam televisi, yang dulu menjadi medium efektif dalam dakwah digital, kini harus ikut menyesuaikan dengan perkembangan teknologi komunikasi. Selain mereka menggunakan televisi sebagai media penyampai ajaran agama, mereka juga membuat media sosial yang mampu mengarahkan massa untuk tetap dalam jalur ajaran agama yang disampaikan. Sampai di sini memang terjadi perebutan kepentingan antara ajaran agama dan kepentingan ‘ekonomi’ semata. Namun hal yang tidak dapat ditolak adalah arus informasi tersebut semakin deras, pertukaran manfaat dan kepentingan tidak terhindarkan, ajaran agama terus mengalir tanpa ada yang dapat menghentikan atau sekedar mengontrolnya.
Rentannya media sosial
Lantas di mana kelemahannya, jika ajaran agama terus mengalir sedemikian rupa melalui media sosial? Ada dua sisi yang akan didapati dari proses ini. Pertama, secara positif ajaran agama akan berkembang dan orang semakin sadar akan pengetahuan agama dan mengamalkannya. Efek lanjutan semakin banyak masyarakat yang sadar akan beragama atau secara sederhana masyarakat menjadi lebih relijius. Nuansa relijius lebih nampak, praktik keagamaan semakin meningkat. Kondisi ini terjadi hampir tanpa syarat, yakni mengabaikan ajaran agama seperti apa yang disampaikan dalam media sosial tersebut yang mampu membuat ghirah beragama semakin kuat. Hal ini dapat kita saksikan pada masyarakat saat ini, mereka aktif mengkonsumsi ajaran agama meskipun hanya sebatas melalui media sosial, dan menjadi sangat religius dalam kesehariannya.

Kedua, kebalikan dari hal di atas, yakni sisi buram dari penggunaan media sosial dan teknologi. Tidak sedikit masyarakat yang kemampuan literasi digitalnya rendah. Mereka tidak mampu menyaring informasi yang berseliweran di media sosial sehingga mereka mengkonsumsinya mentah-mentah. Sehingga apa pun yang diterima dari media sosial menjadi kebenaran yang ia pegang. Jika mereka mendapatkan berita atau informasi, dalam konteks ini tentu ajaran agama yang baik, tentu mereka mengkonsumsi sesuai yang tepat, namun jika tidak mereka telah mengkonsumsi sampah yang justru menumbuhkan penyakit bagi dirinya dan orang-orang di sekelilingnya. Kondisi ini diperparah oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan agama atas nama kelompoknya, mereka akan mengarahkan informasi ajaran agama tersebut sesuai dengan misi kelompoknya. Misalnya kelompok Islam intoleran atau Islam non-moderat menyebarkan ajaran agama sesuai dengan kepentingannya dengan cara memproduksi atau mengolah berbagai ajaran agama yang tersedia dalam media sosial untuk mendukung misinya. Sehingga kelompok-kelompok non-moderat ini akan semakin mendapat pembenar massa atau bahkan mendapat dukungan publik.

Kenyataan tersebut dapat kita saksikan dalam berbagai media sosial yang berkembang saat ini. Misalnya banyak kelompok Islam yang sengaja menyebarkan ajaran kebencian, pembenaran atas ideologi kelompoknya, atau pembelaan terhadap cara beragama tertentu. Survey yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta tahun 2018 terhadap sampling responden sekitar 2190 siswa SMA dan mahasiswa menemukan fakta bahwa 58,5% mereka cenderung radikal bahkan sangat radikal, sementara 20,1% moderat, dan sisanya 21,39% netral. Kalangan anak muda ini dipilih karena mereka merupakan pengguna aktif internet dan media sosial.
Indikasi radikalisme, khususnya yang menyangkut kehidupan bangsa dan negara, sebenarmya juga telah diindikasikan dalam survey-survey yang dilakukan oleh beberapa Lembaga riset. Survey Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tahun 2017 misalnya terhadap pengguna internet menyatakan 9.2% menyatakan Indonesia perlu berganti sistem kepemerintahan menjadi khilafah, 79,3% menyatakan bentuk NKRI tidak perlu diganti dan 11,5 % menyatakan tidak tahu. Uniknya terdapat 5% dari kalangan muda, siswa dan mahasiswa menyatakan mengenal ISIS dan setuju dengan yang diperjuangkan ISIS.

Kalangan anak muda, sebagai pengguna aktif internet dan media sosial memang sangat rentan terhadap pengaruh dalam dunia maya. Hal ini sejalan dengan temuan yang dilakukan oleh Universitas Miami, USA tahun 2015-2016 yang menyatakan bahwa media sosial, seperti Facebook, Twitter dan Instagram menjadi media paling efektif menyebarkan ide ISIS, mempropaganda massa dan merekrutnya. Mereka melaporkan sepanjang tahun 2016 terdapat 3400 anak muda yang berhasil direkrut menjadi relawan ISIS. Laporan penelitian tersebut menyatakan 106 ribu aktivis pro ISIS menggunakan media sosial sebagai alat propaganda, terdapat 166 group media sosial yang digunakan untuk membangun jaringan, dalam sehari rata-rata terdapat 270 kicauan dalam twitter, dan dalam sehari 90 ribu pesan pro ISIS bertebaran di internet. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa media sosial menjadi medium yang sangat efektif dalam memberikan pengaruh terhadap public. Jika tidak menerima secara langsung, paling tidak massa mengenal dan bukan tidak mungkin sebagian di antaranya tertarik untuk mengenal lebih jauh.

Media sosial, hingga kini tetap menduduki posisi penting dalam proses pertukaran informasi dan bahkan membangun gerakan. Lantas bagaimana dengan pengguna media sosial di Indonesia khususnya di kalangan muda seharusnya diberdayakan? Pertanyaan ini harus diwujudkan dalam tindakan, karena menggunakan cara konvensional dalam menyebarkan agama nampaknya akan tertinggal oleh kecepatan teknologi.

Literasi, edukasi, dan aksi
Pertanyaan yang tidak kalah penting untuk diajukan adalah seberapa besar kekuatan media sosial dalam memberikan pengaruh terhadap masyarakat. Jawaban yang pasti mungkin belum dapat ditentukan. Namun hasil penelitian sebagaimana disebutkan di atas dapat menjadi acuan. Hal lain yang dapat menjadi ukuran adalah persentase pengguna media sosial.

Masyarakat Indonesia adalah salah satu jumlah terbesar di dunia pengguna media sosial. Lembaga Data Indonesia mengutip laporan We Are Social menyeburkan bahwa jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 191 juta orang pada Januari 2022. Jumlah itu telah meningkat 12,35% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 170 juta orang.
Media sosial yang banyak digunakan masyarakat Indonesia di antaranya Whatsapp, Instagram, Facebook, Tik Tok, dan Telegram. Persentase dari pengguna media sosial tersebut tercatat 88,7%; 84,8%; 81,3%; 63,1%; dan 62,8%. Persentase ini menunjukkan bahwa satu orang menggunakan lebih dari model satu platform media sosial. Penggunan media sosial pada umumnya kalangan muda rentam usia 13 hingga 34 tahun. Survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2022 menunjukkan bahwa komposisi kaum milenial sebagai pengguna internet cukup tinggi, yakni usia 5-12 tahun (8,08 %), dan 13-18 tahun (9,62 %) dan 19-34 tahun sekitar 25,08 %. Data ini menunjukkan, sekali lagi, bahwa kaum muda merupakan kelompok terbesar yang memproduksi dan mengkonsumsi media sosial.

Terkait dengan pembicaraan awal essay ini bahwa anak muda memiliki potensi yang tinggi untuk diberdayakan untuk memanfaatkan media sosial sebagai media dakwah Islam damai, santun dan beradab. Jika media sosial banyak dikuasai oleh kelompok intoleran, akan menimbulkan persoalan sebagaimana ISIS memanfaatkannya untuk propaganda dan perekrutan massa. Namun sebaliknya jika media sosial dimanfaatkan oleh kelompok Islam santun, besar kemungkinan tumbuh komunitas Islam moderat, toleran dan damai.

Dakwah konvensional memang harus terus digalakkan, namun dakwah melalui media digital dengan memanfaatkan berbagai media sosial akan menjadikan kesemuanya berjalan cepat dan tepat. Maka hal yang harus coba dilakukan adalah ‘menguasai’ media, baik secara teknis atau pun non-teknis. Secara teknis, kalangan muda telah menyerap banyak pengetahuan penggunaan media melalui pergaulan, bacaan di internet atau ruang formal sekolah atau pun bangku perkuliahan. Namun secara non-teknis harus dipersiapkan mental kaum muda untuk terlibat di dalamnya. Persiapan non-teknis tersebut meliputi pengetahuan kepentingan di balik media, penguasan media, pengetahuan agama dan keuletan dalam berjuang. Secara secara sederhana, kita sebut sebagai kemampuan literasi digital, melakukan edukasi agama, dan kemauan aksi berkelanjutan.

Literasi digital adalah kemampuan membaca, memahami dan mengerti konten yang ada dalam dunia digital. Kemampuan memahami isi berita, video, animasi atau pun flyer yang tersebar melalui website atau pun media sosial. Kemampuan ini akan mengarahkan seseorang untuk kritis dan analitis menerima informasi apa pun yang tersebat secara digital. Sehingga ia bisa menyaring dan memahami mana informasi yang sesungguhnya atau pun tidak dan layak atau tidak pantas sebuah informasi. Kemampuan ini akan mengarahkan seseorang untuk tidak secara membabi-buta menerima informasi dan menyebarkannya.

Hal lain yang perlu dilakukan setelah orang memiliki kemapuan literasi digital adalah memberikan skill lain untuk memiliki pengetahuan yang cukup dan kemampuan mengelola infromasi. Orang harus diberi bekal pengetahuan agama yang cukup untuk berbagi dengan orang lain. Meski pun tahapan ini cukup berat, namun sayap-sayap organisasi-organisasi sosial keagamaan, seperti IPNU, IPPNU, dan PMII memiliki kemampuan yang telah teruji untuk menguatkan kesadaran pengetahuan agama yang moderat.

Para aktivis muda dari badan otonom tersebut dapat diberdayakan untuk berjuang dalam dakwah digital yang dimotori oleh NU. Mereka tidak boleh berhenti belajar namun juga berjuang dalam mewujudkan peradaban Islam toleran dan damai melalui dakwah digital. Kemauan yang terakhir ini terkait dengan komitmen beraksi atau bertindak. Hal yang perlu disadari keberhasilan kelompok radikal dalam perjuangannya, bukan karena ajaran yang dibawanya dapat diterima, bukan kemampuan akademik para pelakukan tinggi, bukan juga karena finansialnya yang memadai, tetapi militansi mereka untuk berjuang. Hal yang lebih mestinya dapat dilakukan generasi muda NU, karena mereka memiliki kapital yang lebih, yakni kemampuan literasi, pengetahuan agama dan pengalaman dalam bertindak dalam sebauh gerakan sosial.

Bagi NU, dakwah konvensional tetap harus berjalan, namun perlu dibarengi oleh dakwah digital yang dapat dikelola kaum muda, sebagai kaum milenial yang bergelut dengan dunia maya. Kaum milenial memiliki potensi yang tinggi, karena mereka consumer yang pada saatnya juga digerakkan sebagai produser. Pengelolan dan pembuat konten ajaran Islam yang ramah, santun dan damai sesuai dengan visi Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan yang menjunjung tinggi terbentuknya Islam yang berkeadaban.

Sukron Ma’mun adalah alumni PP Wahid Hasyim Yogyakarta, saat ini sedang menyelesaikan pendidikan doktoral pada Western Sydney University, Australia. Tercatat pula sebagai pengurus LTN PCI NU Australia-New Zealand.

Media Sosial

Terpopuler

Artikel terkait