Satu Bulan di Labuan Lelea: Dakwah Menyapa Santri, Anak, dan Ibu-Ibu di Donggala

Di sebuah desa kecil di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, tepatnya di Labuan Lelea, saya menjalani tugas sebagai Da’i Nusantara selama satu bulan penuh, sejak 23 Mei hingga 24 Juni 2025. Desa yang sederhana ini menyimpan semangat religius yang kuat, sekaligus menjadi ladang subur bagi tumbuhnya dakwah yang lembut dan membumi.

Dakwah saya berpusat di tiga titik utama: pondok pesantren Nahdlatul Khairaat, sebuah TPQ di dekat pemukiman warga, dan tiga majelis taklim ibu-ibu di masjid yang tersebar di tiga dusun berbeda.

Pengajian di Pondok: Suasana Ilmu Seusai Magrib

Setiap malam, begitu azan Magrib berkumandang dan salat berjamaah selesai, para santri putra berkumpul di aula kecil pesantren. Di sana, suasana menjadi hening—mata-mata mereka tertuju pada kitab tipis bernama Sullam at-Taufiq. Dengan suara tenang, saya memulai pengajian. Kitab ini membahas fikih dasar, dari thaharah hingga ibadah, dan selalu menjadi bahan diskusi yang menarik bagi para santri.

Sesekali saya selingi dengan kajian akidah dari Aqidatul Awam, sebuah kitab sederhana namun penuh makna yang mengajarkan dasar-dasar keimanan. Meski tubuh mereka kelelahan setelah aktivitas seharian, wajah para santri tetap berseri-seri—mereka haus akan ilmu.

Selepas Isya, kami bersama-sama melantunkan Surah Al-Mulk. Sementara itu, di sore hari setelah salat Ashar, gema Surah Al-Waqi’ah terdengar dari bibir-bibir para santri, seolah menjadi dzikir sore yang menguatkan hati.

Namun kegiatan di pesantren tak melulu belajar. Saya dan para santri juga membersihkan karpet masjid bersama, menghadiri undangan tahlil dari warga sekitar, hingga terlibat dalam persiapan haflah akhir tahun. Kegiatan ini menjadikan mereka tidak hanya belajar ilmu, tetapi juga belajar hidup bersama masyarakat.

TPQ di Bawah Pohon Mangga

Sekitar 300 meter dari pondok, sebuah rumah warga sederhana menjadi tempat berkumpulnya anak-anak setiap Minggu sore. Di sinilah kegiatan TPQ berlangsung. Anak-anak datang dengan pakaian bersih dan wajah ceria, membawa buku Iqra’ yang sudah agak kusut namun penuh semangat.

Kami memulai dengan membenahi bacaan mereka satu per satu. Suara terbata-bata itu bukanlah kelemahan, melainkan nyala awal yang kelak akan menjadi kekuatan. Selain mengajar Iqra’, saya menyisipkan pelajaran ringan tentang bulan-bulan Islam dan mengenalkan nama-nama anak Nabi Muhammad SAW.

Kegiatan ini bukan hanya mengajarkan bacaan, tetapi juga menanamkan kecintaan sejak dini pada Islam, melalui cerita-cerita sederhana yang mereka dengarkan dengan mata membulat.

Majelis Taklim: Ibu-Ibu dan Ayat-Ayat yang Diperbaiki

Di tiga dusun berbeda, tiga masjid menjadi tempat berkumpulnya para ibu setiap hari Rabu, Jumat, dan Sabtu. Mereka datang dengan mukena terbaiknya, membawa mushaf, dan duduk berderet di atas sajadah. Meski usia mereka beragam, semangatnya satu: ingin membaca Al-Qur’an dengan benar.

Kami memulai dengan tahsin tiga ayat terakhir Surah Al-Baqarah. Perlahan tapi pasti, saya membenahi bacaan mereka—mengulang-ulang makhraj huruf, memperbaiki panjang-pendek harakat. Tidak jarang saya mendengar gumaman, “Oh, begitu cara bacanya…” disertai senyum kecil karena baru menyadari kesalahan yang selama ini tak disadari.

Setelah itu, pengajian dilanjutkan dengan beberapa ayat dari Juz ‘Amma. Setiap huruf yang terlafazkan dengan benar seolah menjadi penanda bahwa perjalanan belajar mereka, meskipun dimulai di usia yang tidak muda lagi, tetap layak dihargai dan dilanjutkan.

Akhir yang Membekas

Satu bulan terasa cepat. Namun di setiap momen, saya merasakan betapa dakwah bukan sekadar ceramah atau mengajar. Dakwah adalah menyentuh hati, menyapa pelan, dan mendampingi dengan sabar. Dari para santri yang selalu siap mendengar, anak-anak yang ingin tahu segalanya, hingga ibu-ibu yang penuh semangat memperbaiki bacaan—semua menjadi bagian dari perjalanan spiritual saya yang tak akan terlupa.

Labuan Lelea bukan hanya tempat tugas, tapi telah menjadi ruang bertumbuh bersama. Di sana saya belajar bahwa cahaya dakwah tak selalu datang dari suara keras di atas panggung, tapi dari kesabaran kecil di ruang-ruang sederhana, dari mushaf yang dibuka dengan harap, dan dari senyum tulus orang-orang yang ingin terus belajar.

Kontributor : Rajis Dani (Dai Nusantara Angkatan ke-2)

Editor: Slamet Miftahul Abror

Media Sosial

Terpopuler

Artikel terkait