Merawat Islam Nusantara di Bumi Komering: Dakwah Kultural di Tengah Tantangan Literasi Keagamaan

Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, menjaga tradisi lokal yang selaras dengan nilai-nilai Islam merupakan sebuah kewajiban moral dan spiritual. Islam Nusantara sebagai wajah Islam yang berakar kuat pada budaya serta kearifan lokal Indonesia, telah terbukti menampilkan corak keberislaman yang damai, toleran, dan santun.

Tradisi-tradisi seperti khalaqah Qur’an, yasinan, manaqiban, dan pengajian ibu-ibu bukanlah sekadar ritual keagamaan. Ia adalah warisan ulama terdahulu yang telah menyebarkan Islam penuh cinta dan hikmah. Sayangnya, sebagian kalangan yang kurang memahami akar sejarah dan nilai-nilai lokal justru memandang tradisi ini sebagai sesuatu yang layak diasingkan.

Padahal, jika kita kembali kepada maqashid syariah (tujuan utama syariat), menjaga budaya yang baik dan tidak bertentangan dengan akidah adalah bagian dari hifzh al-din (menjaga agama). Ulama besar seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, dan KH Abdurrahman Wahid telah mewariskan prinsip bahwa Islam harus hadir dengan wajah ramah, bukan marah; dengan akhlak, bukan amarah.

Islam masuk ke Nusantara bukan melalui pedang, tetapi melalui pendekatan budaya, ekonomi, dan pendidikan. Wali Songo sebagai pendakwah besar menggunakan media lokal seperti wayang, gamelan, dan kesenian tradisional untuk menyampaikan ajaran Islam. Inilah Islam yang membumi, fleksibel, dan menjadi rahmatan lil ‘alamin rahmat bagi seluruh alam.

Program Dai Nusantara yang diinisiasi oleh LAZISNU, LD PBNU, dan BAZNAS di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, mengungkap realitas yang memprihatinkan. Banyak masyarakat yang belum mampu membaca Al-Qur’an dengan baik. Meski sebagian telah menghafal beberapa surat atau juz, namun kesalahan dalam makharijul huruf, panjang-pendek bacaan, hingga tajwid masih sering terjadi.

Pemerintah setempat bahkan menyatakan bahwa sekitar 80% masyarakat di wilayah tersebut tidak mampu membaca Al-Qur’an dengan benar. Ini mencerminkan minimnya ketertarikan masyarakat terhadap pembelajaran agama. Selain itu, dalam bidang keislaman seperti fikih, tauhid, dan akidah, minat masyarakat pun tergolong rendah. Hal ini amat disayangkan, mengingat pentingnya ilmu agama dalam kehidupan seorang Muslim.

Para sahabat Nabi SAW memandang ilmu agama sebagai tiang utama keimanan. Umar bin Khattab RA mengatakan bahwa ilmu adalah dasar ibadah. Dikutip dari riwayat Al-Baihaqi, orang yang beragama tanpa ilmu akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Abu Darda RA juga meriwayatkan sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Berpaling dari ilmu berarti berpaling dari jalan surga.

Dalam menyampaikan dakwah, para dai harus terlebih dahulu memahami apa yang disampaikan. Kegiatan dakwah bukan hanya menyampaikan ilmu secara verbal, melainkan juga membutuhkan kedalaman pemahaman, referensi yang kuat, serta kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat. Tanpa itu semua, dakwah hanya akan menjadi suara di padang sunyi bagai sekolah tanpa murid.

Agar dakwah berjalan efektif, perlu strategi menyeluruh dalam pelaksanaannya, antara lain:

  1. Pembinaan kader dari masyarakat lokal.
  2. Menggunakan metode dan pendekatan dakwah yang relevan serta disukai masyarakat.
  3. Menjalin hubungan dengan tokoh dan pemimpin daerah setempat.
  4. Menanamkan kesabaran dan konsistensi dalam berdakwah.
  5. Menyesuaikan bahasa dan pendekatan dengan kondisi lokal.

Menjaga tradisi keagamaan dan merawat wajah Islam Nusantara bukan sekadar rutinitas atau tugas seremonial. Ia adalah bentuk tanggung jawab moral dan spiritual yang harus dilakukan secara maksimal dan penuh totalitas. Program ini harus menjadi bagian dari pembentukan karakter, pembiasaan ibadah, serta penguatan nilai-nilai diniyah dalam kehidupan masyarakat.

Ilmu keagamaan yang dipelajari, dipahami, dan diamalkan akan menjadi perisai diri yang mengokohkan kepribadian dan menyelamatkan umat. Oleh karena itu, program ini tidak boleh berhenti sebagai proyek jangka pendek, melainkan harus berkembang menjadi gerakan kesadaran kolektif. Menyampaikan dengan benar, memahami dengan ruh Al-Qur’an dan hadits, serta menjadikannya sebagai pedoman hidup yang penuh makna.

Kontributor: Danang Kurniawan (Da’i Nusantara Angkatan ke-2 )

Editor: Slamet Miftahul Abror

Media Sosial

Terpopuler

Artikel terkait