Jakarta (JagatNU.com) – Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) kembali gelar pertemuan bagi para pegiat dakwah digital NU yang bertajuk “Dakwah Sphere edisi ke-5: Ngaji dan Temu Pegiat Dakwah Digital NU”. Acara ini diselenggarakan di Plaza Gedung PBNU, Jakarta Pusat, pada Selasa (13/05/2025).
Ketua LD PBNU, KH. Abdullah Syamsul Arifin, dalam sambutannya menekankan pentingnya dakwah yang terus ditata secara strategi dan substansi. Dakwah, menurutnya, harus hadir dengan penuh kasih, bukan dengan marah.
“Kita harus menampilkan wajah Islam rahmah, bukan yang marah-marah. Kita benci penyakitnya, bukan orang yang sakit. Kita kritik pendapatnya, bukan menjatuhkan orangnya,” tegasnya.
Ia mengajak seluruh pegiat dakwah NU untuk meneladani pendekatan para Wali Songo yang lembut dan penuh hikmah. Di tengah perubahan zaman, prinsip dakwah Ahlussunnah wal Jamaah tetap menjadi pijakan utama dalam menjangkau masyarakat baik di dunia nyata maupun digital.
Ibu Nyai Hj. Yati Priyati, seorang aktivis dakwah di berbagai TV Indonesia, mengingatkan tentang risiko salah kutip dan penyebaran potongan video tanpa konteks di media sosial.
“Di televisi, kita bisa lebih aman karena ada penyuntingan. Tapi di media sosial, satu potongan video bisa menimbulkan fitnah,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya kecermatan retorika dan manajemen emosi dalam menyampaikan dakwah secara digital, agar pesan tidak mudah dipelintir.

KH. Abey Ghifran menekankan pentingnya akhlak dan ketulusan dalam perjalanan dakwah. Ia menyampaikan bahwa keberhasilan dalam berdakwah bukan sekadar soal popularitas, tapi juga tentang karakter yang dibentuk oleh akhlak, mimpi besar, dan doa orang tua.
“Ilmu itu penting, tapi yang mengangkat derajat kita itu akhlak. Jangan sampai makin tinggi, malah jadi Firaun,” ucapnya.

Habib Salim Al-Jufri, Ketua LD PWNU Gorontalo sekaligus pegiat dakwah digital, menuturkan alasan dan strategi dakwahnya di media sosial. Ia mengutip hasil diskusinya dengan rekan-rekan pegiat dakwah:
“Data menarik dari diskusinya dengan para kawan, bahwa 62% masyarakat tidak mengenal pengajian, zikir, dan semacamnya. Hanya 38% yang memang akrab dengan kajian keagamaan dan suasana majelis ilmu.”
Fakta ini mendorongnya untuk menargetkan dakwah kepada mayoritas yang belum tersentuh itu, terutama melalui media seperti YouTube, TikTok, dan Instagram—platform yang kini lebih sering diakses anak muda dibanding televisi.
Ia juga memaparkan strategi teknis membuat konten dakwah. Menurutnya, durasi singkat dan kekuatan dalam 3 detik pertama sangat menentukan.
“3 detik pertama itu penting banget. Kalau tidak menarik, orang langsung scroll.”
Dalam videonya, Habib Salim menyisipkan elemen akting ringan agar terasa lebih alami dan relatable. Ia tetap menjaga penampilan sebagai pendakwah dengan ciri khas seperti peci. Menariknya, penggemar kontennya kerap datang dari kalangan yang jauh dari kesan religius.
“Yang ajak foto itu malah anak-anak gaul, anak-anak muda yang belum tentu tahu pengajian.” Ia menyebut hal itu sebagai anugerah karena dakwahnya menyasar mereka yang belum tersentuh.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya marja‘iyah atau rujukan keilmuan dalam berdakwah.
“Saya tidak ingin menyampaikan sesuatu tanpa ilmu. Jangan sampai kita berbicara hanya karena sudah merasa terkenal, lalu menyampaikan dakwah sesuai isi kepala sendiri.”

Pertemuan ini menjadi momen refleksi dan penguatan bagi para dai NU agar dakwah digital bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang nilai, strategi, dan etika. Ketua LD PBNU mengingatkan kembali, bahwa dakwah seharusnya menjadi jalan cinta.
“Mari kita warisi cara berdakwah para Wali Songo dakwah yang menyejukkan, yang membangun, dan yang membahagiakan,” pungkas KH. Abdullah Syamsul Arifin.