Jangan Sekadar Formalitas Hafalan: Urgensi Membaca Al-Qur’an dengan Tartil

Di tengah derasnya arus sekularisasi dan menurunnya penghayatan terhadap nilai-nilai keislaman dalam dunia pendidikan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan komitmen serius terhadap penguatan pendidikan Al-Qur’an.

Salah satu bentuk konkrit dari komitmen ini adalah diterbitkannya surat edaran resmi oleh Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan yang mewajibkan seluruh peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di jenjang SMA, SMK, dan SLB untuk menghafal minimal satu juz Al-Qur’an, yaitu Juz 30. Ketentuan ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor 100.3.4/3300/DISDIK yang ditandatangani oleh Kepala Dinas Pendidikan, Iqbal Nadjamuddin, pada Jumat, 7 Juni 2025.

Dalam wawancara kepada media pada 20 Juni 2025, Iqbal menegaskan bahwa program ini merupakan bagian dari strategi memberantas buta aksara Al-Qur’an di Sulawesi Selatan. Langkah ini patut diapresiasi dan dapat menjadi teladan bagi daerah lain dalam memperkuat pendidikan keislaman di sekolah. Namun, ada satu hal penting yang perlu ditekankan dalam pelaksanaan program ini: pentingnya memastikan bahwa hafalan dibangun di atas dasar bacaan yang benar dan pemahaman yang tepat.

Berdasarkan pengamatan Dai Nusantara LAZISNU–LDPBNU–BAZNAS yang bertugas di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, masih banyak umat Islam termasuk sebagian dai yang meskipun telah menghafal beberapa surat atau juz dalam Al-Qur’an, masih kerap melakukan kesalahan dalam bacaan, baik dari segi makharijul huruf (tempat keluarnya huruf), panjang-pendek bacaan, maupun penerapan kaidah tajwid. Padahal, membaca Al-Qur’an dengan benar adalah pondasi utama.

Dalam Surah Al-Muzzammil ayat 4, Allah SWT berfirman:

وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًا
“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan (tartil).”

Menurut Dr. KH. Akhmad Fathoni, Lc., M.A. penulis Metode Maisura ayat ini merupakan peringatan keras untuk tidak membaca Al-Qur’an secara sembarangan. Tartil bukan hanya membaca perlahan, tetapi membaguskan bacaan, memperhatikan makhraj, sifat huruf, dan aturan waqaf. Ali bin Abi Thalib RA mendefinisikan tartil sebagai “membaguskan bacaan huruf-huruf Al-Qur’an dan memahami ihwal waqaf.”

Dengan demikian, menghafal Al-Qur’an tidak cukup hanya fokus pada penghafalan lafaz. Ia harus dibarengi dengan penerapan kaidah tajwid, perhatian terhadap pengucapan huruf secara tepat, dan ketepatan dalam berhenti saat membaca. Menghafal tanpa memahami cara baca yang benar ibarat membangun rumah tanpa fondasi nampak kokoh, tapi mudah runtuh.

Agar program wajib hafal Juz 30 ini tidak menjadi formalitas administratif belaka, diperlukan strategi pelaksanaan yang menyeluruh, antara lain:

  1. Pembinaan bacaan (tahsin) sebelum memulai proses hafalan.
  2. Penggunaan metode hafalan yang terarah dan terstandar.
  3. Pelatihan intensif bagi guru dan tenaga pendidik oleh para ahli tahsin dan tahfidz.
  4. Evaluasi berkala terhadap kualitas bacaan dan hafalan, bukan sekadar kuantitas.

Dengan pendekatan yang tepat, hafalan Al-Qur’an bukan hanya menjadi rutinitas kurikuler, melainkan bagian dari pembentukan karakter, pembiasaan ibadah, dan internalisasi nilai-nilai ilahiyah dalam kehidupan sehari-hari. Hafalan yang dibaca dengan tartil, dipahami maknanya, dan diamalkan ajarannya akan menjadi cahaya penuntun hidup: menjadikan seseorang tangguh secara spiritual, berakhlak mulia, dan siap menjadi agen perubahan di masyarakat.

Program ini idealnya tidak berhenti pada capaian kuantitas semata, tetapi terus dikembangkan menjadi gerakan kesadaran kolektif: untuk mencintai Al-Qur’an, membacanya dengan benar, memahami pesan-pesannya, dan menjadikannya pedoman hidup sepanjang zaman.

Kontributor: Samsul Arifin (Da’i Nusantara Angkatan ke-2)

Editor: Slamet Miftahul Abror

Media Sosial

Terpopuler

Artikel terkait