Menelusuri Ruh Dakwah NU, Ustadz Pantun Urai Makna Khidmah dan Otentisitas Sanad

Jakarta (JagatNU.com) – Suasana Plaza Gedung PBNU menjadi lebih bergelora saat Pengasuh Pondok Pesantren Tahfizh Darut Taufiq Ar-Rahman, KH. Taufiqurrahman, SQ., tampil di “Dakwah Sphere ke-6”, Selasa (17/06/2025). Dikenal luas sebagai Ustadz Pantun, beliau tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan suntikan spiritual yang mendalam tentang tiga pilar kekuatan seorang dai: kehausan akan ilmu, keberkahan dalam khidmah, dan kekuatan sanad keilmuan yang tak terputus.

Mengawali tausiyahnya, Ustadz Pantun mengingatkan para pegiat dakwah untuk tidak pernah merasa puas dengan ilmu yang dimiliki. Ia mengutip ayat 109 dari Surah Al-Kahfi sebagai pengingat abadi.

“Katakanlah, ya Muhammad, kepada umatmu… law kāna al-baḥru midādan likalimāti rabbī lanafida al-baḥru qabla an tanfada kalimātu rabbī wa law ji’nā bimithlihī madadā (Sekiranya air laut dijadikan tinta untuk menulis ilmu Allah, maka akan habis lautan itu sebelum habis ilmu Allah, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula),” lantangnya. “Dari ayat ini mengajarkan bagi kita semua, jangan pernah merasa puas dengan yang ada,” tegasnya.

Setelah meletakkan fondasi tentang pentingnya ilmu, Ustadz Pantun beralih ke prinsip kedua yang menjadi pegangannya: “Wal barokatu bil khidmat” (Dan keberkahan itu digapai dengan cara melayani). Menurutnya, berkah adalah konsep yang melampaui logika matematika, di mana rasa cukup dan manfaat yang melimpah menjadi ukurannya.

“Alfakir menafsirkan secara pribadi, barokah itu praktiknya begini. Punya duit Rp3 juta, tapi kebutuhan yang mesti kita keluarkan buat bini, mertua, anak, kurban ternyata dari 30 lembar (uang seratus ribuan) yang butuh kita keluarkan hanya dua lembar. Kira-kira hidup kalau begitu enak apa tidak? Itu barokah,” jelasnya dengan analogi sederhana yang mengundang senyum hadirin.

Ia berseloroh bahwa keberkahan dari khidmah inilah yang membuat jadwal dakwahnya terus mengalir. “Jangankan yang namanya di 2025, tahaddusan bini’mah, insyaallah itu lihat jadwal (sudah penuh). Memang yang bikin jadwal bini,” guraunya, disambut tawa hangat.

Memasuki inti ceramahnya, Ustadz Pantun mengungkap fondasi spiritual yang ia sebut sebagai dapur perusahaannya para dai NU, yakni sanad keilmuan. Sanad, atau silsilah keilmuan yang otentik, tidak hanya berfungsi sebagai penjaga kemurnian ilmu, tetapi juga sebagai pembenar bagi amaliah yang diwariskan turun-temurun, termasuk tawasul dan ziarah kubur.

Ustadz Pantun menjelaskan bahwa amaliah tersebut memiliki dasar argumen (hujjah) yang kuat dalam Al-Qur’an. Ia lantas membacakan Surah Ali Imran ayat 169 sebagai landasan teologisnya. Logika di baliknya, jika para syuhada saja dinyatakan hidup di sisi Allah dan diberi rezeki, maka para wali dan ulama yang merupakan pewaris para nabi juga memiliki kedudukan mulia dan “hidup” dalam artian spiritual.

Dengan penuh semangat, ia menunjukkan bagaimana ayat ini bisa menjadi argumen yang efektif. “Buat kita (dai NU) ini seperti ‘promosi’ untuk meyakinkan umat. Sangat jelas dalilnya: ‘Wa lā taḥsabanna alladhīna qutilū fī sabīlillāhi amwātā, bal aḥyā’un ‘inda rabbihim yurzaqūn’. Dengan ayat ini, argumen kelompok yang sering menyalahkan (amaliah NU) bisa kita patahkan dengan mudah!” jelasnya.

Untuk membuktikan betapa tradisi NU sangat menjaga penghormatan dan silsilah, beliau membuat hadirin terpukau dengan melantunkan nasab (garis keturunan) lengkap Imam Syafi’i dari ayahnya, Muhammad bin Idris, hingga puluhan generasi ke atas sampai kepada Nabi Syits bin Nabi Adam AS.

Tak berhenti di situ, ia kemudian melantunkan sanad keilmuan Aswaja yang dimiliki oleh pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari. Dengan fasih, ia menelusuri jejak ilmu tersebut dari Mbah Hasyim ke gurunya, Syekh Mahfudz At-Tarmasi, lalu ke Syekh Nawawi Al-Bantani, terus bersambung ke Syekh Ibrahim Al-Bajuri, Hujjatul Islam Al-Imam Ghazali, Imamul Haramain Al-Juwaini, Syekh Abu Hasan Al-Asy’ari sebagai pencetus Aswaja, hingga bermuara pada Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang menerima langsung dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang menerima dari Malaikat Jibril, dan Jibril dari Allah SWT.

“Ini kan dapur perusahaan, tidak boleh saya pamerin itu ya. Tapi namanya biar kejelasan, ya ini harus, dari mana barokahnya dari situlah, tidak pernah berhenti,” ungkapnya.

Semua kekuatan itu, menurutnya, harus diikat dengan istiqamah (konsistensi). Ia mengutip janji Allah dalam Surah Fussilat bagi mereka yang istiqamah, bahwa para malaikat akan menjadi pelindung mereka di dunia dan akhirat. Sebagai penutup, ia mengingatkan kembali akan jasa para guru melalui pantun.

“Ikan belanak, ikan tongkol, kurang enak jangan pada dongkol. Ikan belanak, ikan kakap, ikan patin adalah nama-nama ikan,” ujarnya mengawali pantun penutupnya. “Ini kelapa cengkir, rujak kelapa buat buka puasa dibagi rata. Jujur Gus Aab, semuanya, alfakir bukan siapa-siapa tanpa jasa-jasa guru-guru kita tercinta.” Tutupnya.

Media Sosial

Terpopuler

Artikel terkait